Minahasa : Pelatihan Peningkatan Kompetensi Kebidanan

0 komentar

Kabupaten Minahasa dengan dukungan BASICS melalui BRI berupaya mempercepat capaian SPM pada tahun 2013 atas cakupan kunjungan ibu hamil (K4) 96% dan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 96%. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong percepatan pencapaian target MDGs untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990 – 2015.  

Kondisi Cakupan KIA 2010 - 2011
Perkembangan pelayanan Kesehatan di Kabupaten Minahasa saat ini dapat diketahui dengan melihat capaian  indikator – indikator MDGs dan SPM. Untuk capaian MDGs yang berhubungan dengan Kesehatan pada tahun 2009 - 2010 diketahui sebagai berikut : 

NO
KEGIATAN PELAYANAN
CAKUPAN PELAYANAN
2010
2011
1.
Linakes
92     %
87     %
2.
K4
93     %
88,6  %
3.
Komplikasi kebidanan yang ditangani
42,2  %
61,7  %
4.
Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani
47     %
70,2  %
5.
Peserta KB aktif
75     %
86     %

Dari data tersebut diatas dapat dilihat bahwa program pelayanan Kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Minahasa mengalami penurunan cakupan; ini dilihat dari cakupan pelayanan khususnya ANC ke 4 (K4) yang telah mencapai 93 % tahun 2010 sedangakan pada tahun 2011 hanya mencapai 87 %, Persalinan oleh Tenaga Kesehatan 92 % tahun 2010 dan 87 % tahun 2011. Namun pelayanan KB pesrta aktif mengalami peningkatan dimana tahun 2010 cakupan peserta KB aktif 75 % sedangkan tahun 2011 naik menjadi 86 %. Angka kematian Bayi Baru Lahir ( Neonatus ) masih cukup tinggi bahkan cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2009 s/d 2011. Sedangkan  Kematian Ibu yang melahirkan masih terjadi. Hal ini disebabkan penanganan petugas kesehatan yang memberi pertolongan tidak komperhensif serta layanan rujukan yang terlambat karena petugas kesehatan tidak mampu  mendeteksi secara dini kelainan dan komplikasi yang terjadi pada ibu maupun bayi dan kurangnya pengetahuan. 

Angka kematian ibu dan bayi di kabupaten Minahasa selang tahun 2009 – 2011 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : 
TAHUN
NEONATUS
BAYI LAHIR
 IBU BERSALIN
2009
21
11
1
2010
30
24
3
2011
49
28
1





Sementara itu, tenaga kesehatan di Kabupaten Minahasa khususnya bidan berjumlah 132 orang, yang merupakan ujung tombak pembangunan kesehatan bidang kesehatan ibu dan anak. Dari jumlah tersebut diatas, 80 % bidan masih berpendidikan Diploma satu (D.1) kebidanan, 15 % berpendidikan Diploma tiga (D.3) kebidanan dan 5 % berpendidikan Diploma empat (D.4) kebidanan.

Dari data pendidikan bidan tersebut diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan bidan di Minahasa perlu ditingkatkan dalam menunjang profesionalismenya untuk keberhasilan pembangunan kesehatan bidang kesehatan ibu dan anak dalam menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian anak yang salah satu caranya adalah dengan memberikan Pelatihan Kompetensi Kebidanan.

Oleh sebab itu, pada tanggal 5-7 September 2012, dengan dukungan BASICS melalui BRI Kesehatan, diselenggarakanlah Pelatihan Peningkatan Kompetensi Kebidanan. Kegiatan pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan bidan dalam memberikan pelayanan ANC sesuai standart pemeriksaan, memberikan  Asuhan Persalinan Bersih dan Aman serta mampu mendeteksi komplikasi/penyulit yang terjadi pada ibu hamil dan neonatus dengan tolok ukur pertama, peningkatan cakupan ANC K4; kedua, peningkatan cakupan penanganan komplikasi kebidanan; ketiga, peningkatan cakupan persalinan oleh bidan;  dan keempat, terjadi penurunan angka kematian ibu sebesar 3/4  dan angka kematian bayi sebesar 2/3 dari total kematian. Pencapaian tolok ukur tersebut dimonitoring oleh Dinas Kesehatan Kab. Minahasa melalui Bidang Kesehatan Keluarga dengan melakukan analisa laporan setiap bulan dan dan monitoring evaluasi langsung ke Puskesmas.

TUJUAN dari kegiatan pelatihan ini pertama, supaya bidan dapat melakukan pelayanan ANC dengan standart 10 T yaitu : Ukur tinggi badan, Timbang berat badan, Ukur tekanan darah, Skrining status Tetanus & Toksoid, Ukur tinggi fundus uteri, Tentukan prosentasi dan denyut jantung janin, Pemberian Tab. Fe 90 tab, Tes laboratorium rutin (Gol darah, HB, Prot Urin, Gula darah, Tes Laboratorium khusus untuk Heptitis B, HIV, Tuberkulosis, Talasemia, Kecacingan), Tatalaksana kasus dan Temu wicara/konseling (P4K dan KB pasca bersalin). Kedua, bidan mampu mendeteksi kelainan-kelainan dalam kehamilan, persalinan yang menyebabkan komplikasi pada ibu dan atau neonatus yaitu : eklamsi, preeklamsi, kelainan letak bayi, toksemia gravidarum, penyakit penyerta, asfiksia, icterus, hipotermi, BBLR, kelainan kongenital dan lain-lain. Ketiga, bidan dapat  melakukan persiapan dan antisipasi dini rujukan. Keempat, bidan mampu melakukan konseling ibu hamil dan keluarganya, dan kelima, bidan mampu melakukan pencatatan dan pelaporan secara benar dan valid. 

Setelah pelatihan ini selain terjadi peningkatan pengetahuan bidan dalam melakukan pelayanan pada ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas dan kesehatan anak, diharapkan juga akan terjadi peningkatan cakupan program pelayanan kesehatan ibu dan anak yaitu : K4 mencapai 96%, Linakes mencapai 96 %, Penanganan Komplikasi Kebidanan mencapai 90%, Penurunan Angka Kematian Neonatus menjadi 2/3, Angka Kematian Ibu tidak meningkat (1), dan KB aktif meningkat menjadi 90 %.


Lokakarya Nasional Pencapaian SPM melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Percepatan MDGs

0 komentar


Jakarta – Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Bidang Pemerintahan, Drs. Ahmad Zubaidi, Msi  menjamin keseriusan dan komitmen yang tinggi Pemerintah Indonesia untuk terus melakukan upaya perbaikan kualitas pelayanan publik di tanah air. Jaminan tersebut sebagai wujud implementasi piagam PBB tentang Millennium Development Goals (MDGs). ‘’Pemerintah  sangat serius dan konsen untuk terus melakukan perbaikan kualitas pelayanan publik di tanah air,’’ ujar  Ahmad Zubaidi, saat membuka acara  Lokakarya Nasional Pencapaian SPM  melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Percepatan MDGs , di Hotel Imperial Arya Duta Jakarta, 26 September 2012.  Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama BASICS Project dengan Kementerian Dalam Negeri, KPPPA, UN Women dan The Asia Foundation.

Masih menurut Ahmad,   peningkatan kualitas pelayanan dasar, secara substansi juga  didasari oleh adanya amanat nasional yang termuat dalam pembukaan dan UUD 1945 yang kemudian menjadi landasan atas target nasional yang dicanangkan oleh pemerintah untuk periode tertentu yang terwujud dalam RPJMN dan peraturan peraturan perundang-undangan lainnya dalam kerangka kebijakan nasional. Target nasional dalam peraturan perundang-undangan telah ditetapkan dengan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang terbagi terbagi dalam 4 tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 5 tahunan. ‘’Saat ini kita telah memasuki RPJMN tahap kedua dalam RPJPN dengan amanat “membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dan kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya Standar Pelayanan Minimal (SPM) di semua tingkatan pemerintah”, tambah Zubaini.

Sementara itu, Direktur  UPD 1 Direktorat Jenderal OTDA, Eddy Sugiharto, SH, Msi  di sela-sela jumpa pers pelaksanaan Loknas, juga menjelaskan komitmen pemerintah  terhadap pelaksanaan pelayanan dasar   juga terlihat dari disiapkannya kerangka regulasi melalui pendekatan SPM  baik di tingkat nasional dan daerah dengan adanya PP 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM serta Permendagri No. 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan SPM.  Sampai dengan saat ini  telah ditetapkan 15 SPM oleh masing-asing Kementerian/Lembaga yang mencakup berbagai jenis layanan dan indikator, dengan batas waktu pencapaian target penyelesaiannya pada tahun 2014-2015. ‘’Kita sangat komit untuk pencapaian SPM,’’ ujar Eddy menambahkan.  


Untuk mempercepat pelaksanaan SPM dan juga pencapaian target pencapaian SPM maka Pemerintah khususnya melalui Kemendagri sendiri telah  mengeluarkan beberapa regulasi, diantaranya Permendagri No. 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Permendagri Nomor 21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 32 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah tahun 2013, dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2013. Dalam peraturan-peraturan tersebut di atas, diatur bahwa SPM merupakan salah satu acuan dalam proses perencanaan dan penganggaran di Daerah.

Di samping peraturan dimaksud di atas, juga telah diterbitkan Surat Edaran Nomor 100/675/SJ tentang Penerapan SPM pada tanggal 7 Maret 2011 kepada Kementerian/ Lembaga terkait dan juga Surat Edaran Nomor 100/1023/SJ tentang Percepatan Pelaksanaan Penerapan dan Pencapaian SPM di Daerah tanggal 26 Maret 2012 kepada Kepala Daerah dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Melalui Surat Edaran dimaksud diharapkan terjadinya komunikasi dan koordinasi yang intensif antara Pemda dengan Pemerintah dalam upaya penerapan dan pencapaian SPM mengingat percepatan penerapan SPM merupakan salah satu kebijakan prioritas nasional.


Sementara itu, Direktur Project Basics – CIDA  William Duggan memberi apresiasi yang positif kepada Pemerintah Indonesia atas  upaya keras yang dilakukan dalam perbaikan kualitas hidup manusia yang dianggapnya memang pantas dan harus dilakukan karena menjadi tanggung jawab negara. William mengakui, bila dibanding dengan negara lain, Norwegia termasuk Malaysia sendiri, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia  masih cukup tinggi ‘’dengan angka kematian ibu per100.000 orang melahirkan dari tahun 2007-2011 untuk Norwegia 7, malaysia 29 sedangkan indonesia 210, angka ini menunjukkan tingkat kematian ibu di indonesia masih cukup tinggi. ‘’Saya kira tingginya angka kematian ibu ini menunjukkan perencanaan dan penganggaran di indonesia masih belum responship sehingga disinilah pentingnya mendorong penganggaran lebih baik, lebih  pro gender agar bisa mengurangi tingkat kematian ibu,’’ tambahnya.

William juga  menambahkan selama ini Basics –CIDA telah melakukan pendampingan kepada 10 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Utara dan Tenggara dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan publik dasar khususnya pendidikan dan kesehatan. ‘’Dari pendampingan tersebut ada banyak hal yang bisa dikembangkan untuk daerah lain, misalnya dalam mengelola keuangan daerah yang lebih sehat, pengentasan kemiskinan dan atau pengurangan angka kematian bayi serta ibu melahirkan. ****


Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Responsif Gender

0 komentar

(Theresia Erni, District Facilitator BASICS Kab. Minahasa Utara)

Kesehatan tidak semata-mata dipengaruhi faktor biologis dan genetik. Faktor sosial-budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan, secara tidak langsung juga mempengaruhi kesehatan. Menurut dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera secara utuh baik fisik, mental dan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan. Definisi ini mengingatkan petugas kesehatan tentang pentingnya melihat sesuatu di luar konteks penyakit.

Agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif, maka perlu : mempertimbangkan pengaruh sosial-budaya, ekonomi, agama, lingkungan dan psikologi tentang risiko penyakit dan prosesnya; menghadapi suatu penyakit dengan melakukan pengkajian, analisis, dan berbagai tindakan yang mempengaruhi kesehatan, termasuk faktor biologis dan genetik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan dan berkaitan erat dengan dengan sosial-budaya, ekonomi, agama dan psikologis adalah gender. Petugas kesehatan yang telah memahami adanya berbagai faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan akan mampu menemukan faktor-faktor mana yang sangat penting dan perlu disikapi sebagaimana mestinya.

Pengertian Seks dan Gender

Masalah kesehatan hampir selalu terkait dengan hal-hal yang menyangkut seks dan gender.  Pengertian seks (jenis kelamin) berhubungan dengan perbedaan biologis antara perempuan dan laki- laki. Seks merupakan anugerah Tuhan yang melekat pada kita sejak lahir yang tidak mungkin diubah. Karena perbedaan seks (jenis kelamin) inilah seseorang disebut sebagai laki-laki atau perempuan.

Pengertian gender berkaitan dengan nilai-nilai sosial-budaya yang berkembang atau ditentukan dalam masyarakat yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan. Nilai-nilai sosial-budaya ini juga yang menentukan peran dan tanggung jawab seorang laki-laki atau perempuan dalam masyarakat. Nilai dan aturan bagi laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat berbeda sesuai dengan nilai sosial-budaya setempat dan bisa berubah seiring dengan perkembangan konsep sosia-budaya masyarakat tersebut. Sebagai contoh, laki-laki tidak lagi dianggap sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga karena sudah banyak perempuan yang bekerja membantu ekonomi keluarga bahkan menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga ketika suaminya sakit.

Dalam setiap lapisan masyarakat, laki-laki dan perempuan memainkan peranan yang berbeda, mempunyai kebutuhan yang berbeda dan menghadapi kendala yang berbeda pula.  Hal inilah yang disebut perbedaan gender. Sedangkan ketidaksetaraan gender mengacu pada kondisi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan akibat peran dan tanggungjawab yang ditentukan dalam masyarakatnya. Sebagai contoh, laki-laki diberikan peran lebih besar sebagai pengambil keputusan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat, sementara perempuan diberikan tanggung-jawab lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus keluarga (anak-anak dan suami).  Padahal, tidak ada alasan biologis tertentu (akibat perbedaan jenis kelamin) yang menghalangi perempuan ikut serta dalam pengambilan keputusan atau menghalangi laki-laki ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Pengaruh ketidaksetaraan gender terhadap kesehatan perempuan dan laki-laki

Perbedaan biologis (jenis kelamin) antara laki-laki dan perempuan diketahui berpengaruh terhadap kesehatannya karena ada beberapa penyakit yang hanya menyerang perempuan saja atau sebaliknya. Misalnya, hanya perempuan yang diserang penyakit kandungan, kanker, rahim, dan  kanker ovarium. Sebaliknya, hanya laki-laki yang terkena kanker prostat dan haemophilia.

Kondisi kesehatan laki-laki dan perempuan dipengaruhi hal yang sama tetapi perempuan mengalaminya secara berbeda. Banyak masalah kesehatan yang diderita perempuan karena peran dan tanggung jawab gendernya,  bukan karena jenis kelaminnya. Sebagai contoh, perempuan mempunyai beban kerja yang lebih besar dalam rumah tangga yang seringkali mempengaruhi kesehatannya, khususnya dalam kondisi tertentu seperti kehamilan. Contoh lain, masih banyak perempuan yang tidak bisa memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan karena suami yang lebih banyak memutuskan kapan akan pergi ke sarana kesehatan, atau perempuan ‘dipaksa’ terus melahirkan sampai mendapatkan anak dengan jenis kelamin tertentu yang seringkali mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan. Remaja perempuan menghadapi tantangan kesehatan cukup besar akibat pernikahan dan kehamilan di usia muda, selain lebih rentan terhadap resiko pelecehan dan kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar rumah.

Analisis Gender dalam pelayanan kesehatan

Istilah gender berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan sebab gender berhubungan dengan peran dan tanggung jawab keduanya yang ditentukan dalam masyarakat. Ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi karena masih adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menyebabkan adanya kesenjangan gender. Untuk mengurangi kesenjangan yang ada, khususnya di bidang kesehatan, petugas kesehatan harus bisa memahami isu gender yang merugikan kesehatan laki-laki dan perempuan dan cara pemecahannya.

Isu gender dapat dipahami melalui suatu proses yang disebut analisis gender. Analisis gender membantu melihat dengan cermat hal-hal yang mempengaruhi kesehatan laki-laki dan perempuan sesuai dengan perbedaan usia, pendidikan, status sosial-ekonomi, budaya, lingkungan dan sebagainya. Ketika petugas kesehatan telah mengintegrasikan analisa gender dalam memahami masalah kesehatan, maka petugas kesehatan tersebut telah melakukan pengarusutamaan gender dalam pelayanan kesehatan.
Untuk memulai suatu analisis gender, petugas kesehatan perlu mengetahui informasi mengenai jumlah laki-laki dan perempuan yang datang ke sarana kesehatan. Pencatatan berdasarkan jenis kelamin pasien disebut pencatatan data terpilah (sex-aggregated data). Pencatatan ini penting karena sering merupakan data pembuka wawasan mengenai masalah kesenjangan gender dalam kesehatan. Data terpilah membantu anda melihat pola masalah kesehatan mencakup : siapa yang lebih banyak menderita dan mengapa mereka lebih menderita.  Misalnya, dari 100 pasien dengan masalah anemia ditemukan 85 pasien perempuan dan 15 pasien laki-laki. Analisis gender bisa dilakukan untuk mencari tahu mengapa jumlah perempuan yang menderita anemia lebih banyak dibandingkan laki-laki? Contoh lain, hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, lebih banyak laki-laki yang menderita penyakit TBC tetapi jumlah kematian terbanyak akibat TBC dialami oleh perempuan. Demikian juga dengan semakin tingginya jumlah perempuan (khususnya ibu rumah tangga) yang terinfeksi HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan pasangannya. 

Analisis gender dilakukan untuk mengetahui adanya kesejangan gender dalam 4 aspek :  1. Akses (siapa yang memanfaatkan sarana kesehatan yang ada?); 2. Sumber daya (siapa yang memiliki sumber daya untuk memanfaatkan sarana kesehatan?); 3. Kontrol (siapa yang membuat keputusan?) 4. Keuntungan (siapa yang bisa menikmati keuntungan dari sumber daya yang ada?).

Contoh kasus : Ibu Ana sedang hamil 5 bulan, tidak pernah memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan, tidak pernah ikut posyandu karena tidak ada yang menjaga 3 orang anaknya yang masih kecil di rumah.  Beberapa hari terakhir ibu Ana mulai merasakan sakit yang tidak biasa pada perutnya. Karena kuatir, ibu Ana minta ijin pada suaminya untuk pergi ke Puskesmas. Mengingat jarak yang cukup jauh dari desa, ibu Ana minta bantuan suaminya untuk mengantarkan ke Puskesmas. Suaminya yang bekerja sebagai ojek motor tidak bersedia mengantarkan istrinya ke Puskesmas, selain karena jauh, tidak ada yang menjaga anak-anak di rumah, juga karena akan menghabiskan uang.  Suaminya menyuruh ibu Ana pergi ke dukun bersalin yang ada di desa untuk diurut. Ibu Ana tidak berdaya menolak keputusan suami keskipun hal itu bisa berbahaya bagi kesehatan dirinya dan bayi yang dikandungnya. 

Dari contoh kasus diatas, ada empat langkah pendekatan analisis gender untuk memastikan pelayanan kesehatan yang responsif gender :

Langkah 1
Menentukan masalah
1.      Ibu tidak pernah memeriksakan kehamilan
2.      Ibu tidak pernah ikut posyandu karena harus menjaga anak
3.      Jarak kehamilan yang cukup dekat (kehamilan ke-4 dengan 3 anak lain yang juga masih kecil) sehingga ibu Ana masuk dalam kategori ibu hamil resiko tinggi
4.      Kesulitan ekonomi
5.      Jarak Puskesmas jauh dari desa
Langkah 2
Melihat isu gender dari permasalahan tersebut
1.   Peran sebagai pengurus anak dan rumah tangga membuat perempuan tidak bisa bersosialisasi di masyarakat atau mengikuti kegiatan yang bermanfaat bagi kesehatannya. 
2.   Perempuan seringkali tidak punya hak memutuskan jumlah anak dan jarak kehamilan yang aman untuk menghindari resiko pada kesehatan reproduksinya.
3.   Perempuan tidak punya sumber daya untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada (dalam kasus ini ibu Ana tidak punya uang dan alat transportasi)
4.   Perempuan seringkali harus meminta ijin suami untuk mengunjungi fasilitas kesehatan, artinya tidak selalu boleh memutuskan sendiri kapan akan memeriksakan kesehatannya.
Langkah 3
Mencari pemecahan masalah atau alternatif jalan keluar untuk mengatasi masalah
1.    Perlunya meningkatkan kesadaran akan dukungan keluarga bagi ibu hamil agar bisa ikut posyandu secara teratur
2.      Perlunya meningkatkan kesadaran suami/kaum bapak tentang pentingnya menjaga kesehatan istri selama kehamilan sampai sesudah melahirkan
3.      Perlunya informasi tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas
4.      Perlunya informasi tentang perencanaan kehamilan untuk menghindari resiko tinggi pada ibu
5.      Perlunya informasi tentang persalinan gratis melalui Jampersal
6.      Perlunya informasi tentang persalinan yang aman pada tenaga kesehatan
Langkah 4
Menentukan intervensi/upaya yang tepat dari berbagai alternatif penyelesaian masalah yang ada (isu gender apa yang perlu diatasi, kegiatan yang bisa dilakukan, kapan dan dimana)
1.    Petugas kesehatan bekerjasama dengan kader kesehatan/posyandu melakukan kunjungan rumah untuk menelusuri jumlah ibu hamil resiko tinggi
2.      Petugas kesehatan melakukan pendekatan kepada keluarga atau tetangga yang bisa menjaga anak-anak selama ibu Ana pergi ke Posyandu.
3.   Petugas kesehatan memberikan informasi kepada suami tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas
4.  Petugas kesehatan meyakinkan serta memastikan suami mengantar istrinya memeriksanan kehamilan ke Puskesmas.
5.   Petugas kesehatan menganjurkan persalinan pada tenaga kesehatan dan memberikan informasi kepada suami dan istri tentang persalinan gratis (Jampersal). 
6.      Petugas kesehatan memberikan informasi kepada suami dan istri tentang perencanaan kehamilan dan menawarkan alat kontrasepsi yang sesuai bagi istri dan suami.
7.      Petugas kesehatan membuat kelas persiapan kehamilan dan persalinan di desa dan mengajak ibu hamil dan suaminya untuk bergabung (waktu disesuaikan agar kaum bapak bisa ikut serta)  
8.   Petugas kesehatan melakukan pendekatan kepada Kepala Desa, tokoh masyarakat atau pemuka agama setempat untuk memberikan nasehat tentang pentingnya peranan laki-laki/suami menjaga kesehatan istrinya selama kehamilan sampai sesudah persalinan.


Pelayan Kesehatan Reproduksi yang Responsif Gender

Kesehatan reproduksi menempati bagian terbesar dari upaya pelayanan kesehatan.  Hasil Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi tahun 1996 menyepakati Paket Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) yang terdiri adri 4 komponen : Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja, dan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS.

Laki-laki dan perempuan mempunyai hak reproduksi yang sama namun perbedaan gender lebih banyak mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan dengan konsekuensi yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Kesehatan reproduksi perempuan banyak dipengaruhi tuntutan pekerjaan mengurus rumah tangga; bekerja di luar rumah; ditambah lagi beban kerja dari fungsi reproduksinya untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Karena peran ganda ini, perempuan mengalami kesulitan untuk memperoleh tingkat kesehatan reproduksi secara optimal bila tidak dilakukan upaya khusus. Petugas kesehatan dapat memberikan kontribusi penting terhadap peningkatan kesehatan reproduksi perempuan yang akan berimbas pada meningkatnya kesehatan anak-anak, suami, keluarga dan masyarakat luas.
Untuk meningkatkan status kesehatan reproduksi perempuan, petugas kesehatan perlu memahami betul perbedaan peran gender yang merugikan kesehatan perempuan.  Petugas kesehatan yang responsif gender perlu membantu laki-laki untuk memahami pengaruh dari tindakan dan perilakunya terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Laki-laki perlu memahami kesehatan reproduksinya sendiri dan bagaimana ia bisa mendukung kesehatan reproduksi perempuan. 

Beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya :
  • Memberi informasi yang lengkap tentang kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan. 
  • Remaja laki-laki perlu diajarkan untuk memahami kesehatan organ reproduksinya dan menghormati organ reproduksi lawan jenisnya (perempuan). 
  • Melibatkan laki-laki dalam penyuluhan tentang seksualitas, kesehatan organ reproduksi, penyakit menular seksual, kontrasepsi, aborsi dan penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksi laki-laki dan perempuan.  
  • Melibatkan suami dalam proses pemeriksaan kehamilan, perawatan kehamilan, persiapan persalinan, dan perawatan paska persalinan.  
  • Melibatkan suami dalam konseling perencanaan kehamilan (mengatur jarak kehamilan dan jumlah anak) dan pemilihan alat kontrasepsi (KB) yang sesuai bagi suami dan istri. Melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama laki-laki dalam memberikan pemahaman mengenai kesetaraan peran gender laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. 

Penutup

Memang tidak semudah membalik telapak tangan bagi petugas kesehatan untuk menerapkan pendekatan responsif gender dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sudah pasti akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan karena masyarakat kita secara umum belum memahami konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Satu hal yang perlu diingat, keadilan dan kesetaraan gender di bidang kesehatan hanya dapat dicapai dengan melibatkan banyak kalangan, terutama kaum laki-laki di dalamnya.

Dengan mengerti perbedaan kebutuhan, konsekuensi pelayanan kesehatan terhadap laki-laki dan perempuan, petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan yang lebih relevan dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, pelayanan kesehatan akan menjadi lebih efisien dan efektif. 


BITUNG : Brosur KIA dalam Dialek Manado

0 komentar

Dinas Kesehatan Kota Bitung bekerjasama dengan BASICS menerbitkan serangkaian brosur Kesehatan Ibu dan Anak dengan menggunakan bahasa Indonesia dialek Manado. Penggunaan bahasa dengan dialek lokal ini dimaksudkan agar informasi yang tercantum dalam brosur tersebut lebih dapat dimengerti oleh masyarakat awam, khususnya ibu hamil dan pasangannya serta orang tua balita yang menjadi target sasaran penyebaran brosur KIA tersebut. Pembuatan brosur KIA ini adalah bagian dari upaya Pemerintah Kota Bitung dalam menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi/Balita.






































 
  • BASICS PROJECT NORTH SULAWESI © 2012 | Designed by Rumah Dijual, in collaboration with Web Hosting , Blogger Templates and WP Themes