Masalah,
tantangan atau peluang
Mengacu pada Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs), kualitas pendidikan serta kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, kematian bayi dan anak, balita kurang gizi atau gizi buruk, serta masih banyaknya anak usia sekolah yang putus atau tidak pernah sekolah dan angka buta huruf yang masih tinggi.
Ada
banyak penyebab utama masalah ini,
antara lain:
- Alokasi anggaran untuk mencegah/mengatasi masalahnya tidak ada, tidak memadai, tidak tepat peruntukannya atau tidak efisien penggunaannya.
- Diperlukan analisa rancangan anggaran yang memadai, tetapi hal ini tidak mudah bagi banyak anggota DPRD yang memang harus melakukan fungsi itu. Laterbelakang anggota Dewan sangat bervariasi, dan jarang diberikan pelatihan yang tepat dan efektif.
- RAPBD biasa dibagikan kepada anggota Dewan baru pada hari pembahasan itu juga sehingga tidak cukup waktu untuk analisa, apalagi dokumen itu sangat tebal.
- Kebanyakan metoda analisa anggaran yang dipakai selama ini butuh waktu lama.
Langkah yang telah diambil
Karena tantangan yang diuraikan di atas maka BASICS memperkenalkan teknik analisa anggaran yang mudah, praktis
dan bisa dilakukan dalam waktu sekitar satu sampai dua jam dan bisa dilakukan
oleh semua anggota DPRD tanpa perlu harus jadi akuntan.
Tujuan
membuat metoda praktis
- DPRD bisa mempunyai alat analisa anggaran yang mudah dimengerti dan mampu melakukan analisa sederhana tetapi bisa memahami substansi APBD.
- DPRD mampu berdialog dengan Eksekutif
untuk mengetahui apakah rancangan alokasi anggaran tepat sasaran, menjawab
masalah dan bersifat efisien dan memihak masyarakat miskin (pro-poor)
-
Pelayanan dasar pendidikan dan
kesehatan bisa mempunyai capaian yang
lebih baik
Bagaimana
cara melakukannya?
- Sebelum dapat melakukan analisa
anggaran diperlukan pemahaman yang baik akan
mengapa pelayanan dasar penting untuk rakyat, apa itu MDGs (Tujuan Pembangunan
Milenium) dan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan apa itu “responsif gender”
dan “pro poor”. Dalam langkah ini maupun dalam langkah-langkah berikutnya,
keterlibatan OMS yang memiliki pengalaman dan keterampilan yang relevan akan
sangat membantu prosesnya.
- Kedua, setelah pemahaman sudah
ada, anggota Dewan diajak ke lapangan ke
tempat yang paling kumuh untuk berdiskusi dengan masyarakat yang paling
miskin dan kumuh. Mereka ke tempat pemulung yang sudah lebih 10 tahun tinggal
di tempat sampah, daerah kumuh kota, juga ke daerah nelayan miskin. Mereka berdiskusi dengan kaum miskin
dan menanyakan kondisi pelayanan dasar yang dialami. Pendekatan ini mengharapkan
agar anggota DPRD punya empati dan
keberpihakan, karena ketrampilan ‘peka terhadap orang miskin’, peka
terhadap apa yang dialami ibu-ibu miskin, bidan kampung, anak sekolah, para
penyandang disabilitas, suku/etnis terpinggirkan, dan lain-lain perlu diasah sebelum mampu peka
melihat apa arti anggaran.
- Ketiga, dari lapangan barulah
kita mendiskusikan apa persoalan
sebenarnya dari kacamata mereka yang menerima layanan.
- Keempat, kita mengkaji apakah
APBD yang disusun ini menganggarkan
berbagai persoalan yang ditemui di lapangan, dilihat dari kacamata penerima layanan yang paling miskin atau
paling tidak beruntung.
Apa
temuan selama ini di APBD?
- Banyak kabupaten/kota yang lebih tinggi belanja pegawai daripada belanja program pembangunan bahkan ada yang sampai lebih dari 80% total APBD. Jika sudah demikian apa yang tersisa untuk pelayanan dasar dan lainnya sudah tidak banyak.
- Alokasi belanja pendidikan ada yang lebih dari 20% dari total APBD tetapi perlu dicermati untuk apa persis peruntukannya Belanja baju seragam bisa lebih tinggi dari anggaran untuk memberantas buta huruf, belanja lomba ini dan itu juga lebih tinggi daripada dana untuk menjawab persoalan anak putus sekolah (contoh nyata dari lapangan).
- Banyak kabupaten/kota tidak ada alokasi anggarannya khusus untuk mencapai MDGs dan SPM yang bermasalah. Kalau daerah yang angka gizi buruknya tinggi, angka putus sekolah tinggi, kasus HIV makin hari makin banyak, data akurat tidak tersedia, dan kemudian tidak ada alokasi anggarannya, bagaimana nasib negeri ini? Walau BASICS hanya melihat situasi di Sulawesi, kemungkinan kecenderungan yang sama merata di banyak tempat di Indonesia.
- Masih sedikit yang melakukan analisa gender dalam anggaran. “Gender” masih diartikan “perempuan”. Alokasi anggaran untuk menjawab gap kesetaraan gender bagaimana perempuan dan laki-laki bisa mempunyai akses, berpartisipasi, memperoleh manfaat dan mempunyai dampak yang sama dalam program dan kegiatan instansi pelayanan publik masih belum terbiasa. Anak putus sekolah lebih banyak laki-laki tetapi program dan kegiatan masih “netral” gender, artinya tidak memberi perhatian dan pelayanan khusus bagi masing-masing gender sesuai kebutuhan dan permasalahannya.
Dampak dan Perubahan
- Kalau dulu pembahasan anggaran
hanya berlangsung beberapa jam, di
beberapa kabupaten menjadi beberapa hari dan bisa sampai subuh, karena anggota Dewan lebih
mampu memahami dan menanggapi RAPBD dan implikasinya. Anggota Dewan menjadi lebih
kritis dan mampu mengajukan pertanyaan yang lebih berkualitas. Anggaran yang menunjang SPM dan
MDGs dari tidak ada menjadi ada di
beberapa kabupaten/kota. Contoh: di Kota Bitung, Sulawesi Utara, frekwensi kunjungan
empat/K4 ibu hamil ke fasilitas kesehatan cukup rendah sehingga DPRD meminta
agar ada alokasi anggaran untuk menjawab persoalan ini. Kemudian Bappeda
meminta Dinas Kesehatan untuk mengalokasikan
anggaran tersebut.
-
Hasil temuan analisa anggaran dimana 80% adalah untuk gaji dan honor pegawai disampaikan kepada Bupati sehingga hasilnya, penerimaan pegawai baru
daerah dihentikan, kabupaten tidak menerima alokasi PNS baru dari pusat dan mulai
memikirkan memberlakukan pensiun dini. Dari prosesnya, OMS dan DPRD bisa saling melengkapi. OMS membuat
analisa detail dan DPRD mendalami dan mengupayakan anggaran.
Pembelajaran
- Metoda mudah, dengan banyak praktek, membuat anggota DPRD mampu melakukan analisa.
- Kunjungan ke masyarakat miskin penting buat mengasah empati dan sangat diminati.
- Pelatihan saja tidak cukup tetapi perlu coaching/pendampingan untuk menambah ketrampilan analisa. Coaching analisa anggaran diminati banyak anggota DPRD, mereka suka menghitung sendiri dan melakukan analisa. Coaching karena hanya perlu sekitar 1-2 jam, bisa dilakukan sebelum atau sesudah pertemuan DPRD yang sesuai agenda rutin anggota Dewan.
- Sebaiknya melibatkan cukup banyak anggota. Kalau sedikit akan menimbulkan kecemburuan. Jangan hanya Badan Anggaran yang dilibatkan, karena anggota Banggar bisa berganti.
- Libatkan Sekretaris Dewan dan stafnya, juga staf ahli Dewan dalam setiap langkah supaya mereka bisa mendampingi terus, bahkan setelah ada pergantian anggota DPRD.
BASICS telah menyusun Panduan Analisa APBD bagi kalangan
pemerintah daerah, DPRD dan organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia,
berdasarkan pengalaman yang diuraikan di atas.