“Menyeberang
Lautan Untuk Mencerdaskan Anak Bangsa”
Desa
Lapepahe, Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, hanyalah
sebuah kampung kecil. Namun, desa yang dihuni 609 jiwa itu menyimpan sebuah
kisah besar, dan ibu guru Dorkas Kaengke sebagai tokoh utamanya. Ibu guru Dorkas
adalah sosok yang pantas jadi panutan dan contoh bagi dunia pendidikan di
Sulawesi Utara, bahkan Indonesia. 28 tahun mengabdi sebagai guru, selama itu
pula ia harus menyeberangi laut dengan perahu tradisional untuk menjangkau
tempatnya mengajar, SD Inpres Mahumu yang terletak di Pulau Mahumu. Bahaya dan
maut yang setiap saat bisa menjemputnya tak membuat Ibu Dorkas gundah.
Baginya,
mengajar adalah pilihan hidup yang harus dijalani dengan segenap hati. Jelas
menyedihkan ketika mendengar kisahnya di saat-saat awal mengajar. Sebab
ternyata ia cuma mendapatkan gaji sebesar Rp40 ribu rupiah. Ibu Dorkas adalah
ibu, guru dan pribadi yang luar biasa mengagumkan. Ketika warga di di Pemukiman
Uai, Desa Lapepahe, masih dibungkus selimut dan terlelap tidur, ia sudah
memulai aktifitasnya. Keheningan pagi memang sudah menjadi sahabatnya setiap
hari. Hampir setiap pukul 04:00 Wita (dini hari), ia sudah bangun dengan
memulai pekerjaan di dapur. “Sebelum ke sekolah saya menyiapkan sarapan bagi
suami dan anak-anak. Jam bangun saya seperti ini, karena saya memang tidak suka
terlambat ke sekolah,”kata Ibu Dorkas.
Desa Lapepahe berjarak 2,5 jam dari Kota Tahuna,
Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kediaman
Ibu Dorkas jauhnya kira-kira dua kilometer dari perkampungan Lapepahe,
Kecamatan Manganitu Selatan. Jalan setapak super ektsrem sepanjang 1 kilometer
harus dilewati. Itu pun dengan risiko tergelincir karena medannya naik-turun.
Ibu guru Dorkas benar-benar perempuan tangguh. “Sekolah tempat saya mengajar
letaknya di Pulau Mahumu. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi beginilah
keadaannya. Alat transportasi cuma perahu,”kata Ibu
Dorkas menjelaskan. Dibutuhkan sekitar 15 menit perjalanan melintasi laut Lapepahe
untuk mencapai pulau Mahumu. Setiba di dermaga pulau Mahumu perjalanan
dilanjutkan dengan mendaki bukit yang tingginya kiara-kira 20 meter di atas
permukaan laut, lalu dilanjutkan dengan jalan kaki sejauh 200 meter menuju
sekolah. “Kalau air pasang, jarak tempuhnya hanya lima meter dari pantai ke
sekolah. Tapi ini air surut, saya harus memarkir perahu di dermaga tadi,” jelas ibu guru yang tangguh ini.
Di
usianya yang lebih dari setengah abad, Ibu Dorkas tak terlihat seperti
perempuan lemah. Ia terlihat kuat, sekuat tekadnya untuk mengajar. Kedua kaki
dan tangannya masih terlihat bertenaga. “Saya sudah terbiasa mengajar dengan
keadaan seperti ini. Menggunakan perahu pulang-pergi tidak masalah. Ini sudah
saya jalani setelah SK penempatan saya tahun 1984 di tempat ini,” kata Ibu Dorkas di sela-sela perjalanan menuju
sekolah.
“Perahu
yang saya gunakan itu, sudah yang kesepuluh. Sembilan lainnya sudah rusak.
Kadangkala, saya kehujanan dalam perjalanan. Kalau dalam perjalanan ke sekolah
basah kuyup, saya kembali ke rumah untuk ganti pakaian. Kalau hanya basah
sedikit, saya tetap melanjutkan perjalanan ke sekolah,”kata Ibu Dorkas yang
pernah ikut upacara dengan menggunakan pakaian basah akibat kehujanan. Dengan
polos, dirinya mengaku tidak ingin pindah dari sekolah itu. Kecintaan dan
kedekatannya dengan warga Mahumu menjadi alasan. “Saya sudah menganggap
siswa-siswa saya sebagai anak kandung. Kadang meski badan tidak sehat, saya
tetap pergi mengajar. Kalaupun lelah, saya meminta suami untuk antar sekalian
jemput,”ujarnya.
Ibu
Dorkas yang sudah menelorkan beberapa anak didik menjadi polisi, tentara dan
guru menceritakan beberapa pengalaman memilukan dalam 28 tahun perjalanan
tugasnya itu. “Kira-kira 24 November 2009 lalu, saya hendak berangkat ke sekolah.
Tidak ada tanda-tanda apapun kalau pagi itu akan ada hujan dan angin kencang.
Ketika saya berada di tengah laut, dengan cepat semua di sekitar saya menjadi
gelap. Perahu tergoyang-goyang akibat hantaman angin. Saya terus mendayung
meskipun perasaan takut ada. Saya sampai menangis,”kenangnya dengan wajah berbinar. “Tak
disadari saya sudah berada jauh dari dermaga Desa Mahumu. Mungkin karena
besarnya arus, saya terseret begitu jauh,”sambungnya.
Meski terlihat begitu tegar, Ibu Dorkas ternyata mengalami gangguan kesehatan. “Kesehatan
saya terganggu. Sejak sakit 1994 lalu, saya sudah tidak bisa naik kendaraan
darat seperti mobil, sepeda motor dan pesawat. Jadi, kalau ada urusan di
Tahuna, saya meminta suami mengantar saya menggunakan perahu,”akunya.
Menutup
pembicaraan, Ibu Dorkas menilai, sekarang perhatian pemerintah terhadap
guru-guru di daerah terpencil sudah lebih bagus. “Saya mendapat tunjangan per
satu tahun. Jumlahnya lumayan. Saya mulai terima sejak 2006 lalu. Saya punya
impian pangkat Golongan IIIC bisa dinaikkan menjadi IIID. Itu harapan besar
saya,”akunya.
Ibu Dorkas ikut mengungkap permasalahan listrik di daerahnya menjadi satu
kendala. “Kadang seminggu listrik hidup, kadang mati. Kadang dalam seminggu
hanya empat hari listrik hidup. Beberapa kali pakaian dinas saya tidak
disetrika saat ke sekolah karena listrik padam,”terangnya.
“Tujuan
utama saya adalah membuat anak-anak di Desa Mahumu menjadi pintar dan berguna
bagi orangtua mereka. Penduduk di tempat itu rata-rata kurang mampu. Hanya
pendidikan yang lebih baik yang bisa membuat mereka keluar dari ketertinggalan,”katanya mengakhiri
pembicaraan. Sebuah impian yang luhur dan mulia.
0 komentar:
Posting Komentar