(Theresia Erni, District Facilitator BASICS Kab. Minahasa Utara)
Kesehatan
tidak semata-mata dipengaruhi faktor biologis dan genetik. Faktor
sosial-budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan, secara tidak langsung juga
mempengaruhi kesehatan. Menurut dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan adalah suatu keadaan
sejahtera secara utuh baik fisik, mental dan sosial, tidak hanya terbebas dari
penyakit dan kecacatan. Definisi ini mengingatkan petugas kesehatan tentang
pentingnya melihat sesuatu di luar konteks penyakit.
Agar
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif, maka perlu :
mempertimbangkan pengaruh sosial-budaya, ekonomi, agama, lingkungan dan
psikologi tentang risiko penyakit dan prosesnya; menghadapi suatu penyakit
dengan melakukan pengkajian, analisis, dan berbagai tindakan yang mempengaruhi
kesehatan, termasuk faktor biologis dan genetik. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kesehatan dan berkaitan erat dengan dengan sosial-budaya, ekonomi,
agama dan psikologis adalah gender. Petugas kesehatan yang telah memahami
adanya berbagai faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan akan mampu
menemukan faktor-faktor mana yang sangat penting dan perlu disikapi sebagaimana
mestinya.
Pengertian Seks dan Gender
Masalah
kesehatan hampir selalu terkait dengan hal-hal yang menyangkut seks dan gender.
Pengertian seks (jenis kelamin)
berhubungan dengan perbedaan biologis antara perempuan dan laki- laki. Seks merupakan anugerah
Tuhan yang melekat pada kita sejak lahir yang tidak mungkin diubah. Karena
perbedaan seks (jenis kelamin) inilah seseorang disebut sebagai laki-laki atau
perempuan.
Pengertian
gender berkaitan dengan nilai-nilai sosial-budaya yang berkembang atau
ditentukan dalam masyarakat yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku
sebagai laki-laki atau perempuan. Nilai-nilai sosial-budaya ini juga yang
menentukan peran dan tanggung jawab seorang laki-laki atau perempuan dalam
masyarakat. Nilai dan aturan bagi laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat
berbeda sesuai dengan nilai sosial-budaya setempat dan bisa berubah seiring
dengan perkembangan konsep sosia-budaya masyarakat tersebut. Sebagai contoh,
laki-laki tidak lagi dianggap sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga
karena sudah banyak perempuan yang bekerja membantu ekonomi keluarga bahkan
menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga ketika suaminya sakit.
Dalam
setiap lapisan masyarakat, laki-laki dan perempuan memainkan peranan yang
berbeda, mempunyai kebutuhan yang berbeda dan menghadapi kendala yang berbeda
pula. Hal inilah yang disebut perbedaan
gender. Sedangkan ketidaksetaraan gender mengacu pada kondisi yang tidak
seimbang antara laki-laki dan perempuan akibat peran dan tanggungjawab yang
ditentukan dalam masyarakatnya. Sebagai contoh, laki-laki diberikan peran lebih
besar sebagai pengambil keputusan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat,
sementara perempuan diberikan tanggung-jawab lebih besar untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dan mengurus keluarga (anak-anak dan suami). Padahal, tidak ada alasan biologis tertentu
(akibat perbedaan jenis kelamin) yang menghalangi perempuan ikut serta dalam
pengambilan keputusan atau menghalangi laki-laki ikut membantu mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
Pengaruh ketidaksetaraan gender terhadap
kesehatan perempuan dan laki-laki
Perbedaan
biologis (jenis kelamin) antara laki-laki dan perempuan diketahui berpengaruh
terhadap kesehatannya karena ada beberapa penyakit yang hanya menyerang
perempuan saja atau sebaliknya. Misalnya, hanya perempuan yang diserang
penyakit kandungan, kanker, rahim, dan kanker ovarium. Sebaliknya, hanya laki-laki
yang terkena kanker prostat dan haemophilia.
Kondisi
kesehatan laki-laki dan perempuan dipengaruhi hal yang sama tetapi perempuan mengalaminya
secara berbeda. Banyak masalah kesehatan yang diderita perempuan karena peran
dan tanggung jawab gendernya, bukan
karena jenis kelaminnya. Sebagai contoh, perempuan mempunyai beban kerja yang
lebih besar dalam rumah tangga yang seringkali mempengaruhi kesehatannya,
khususnya dalam kondisi tertentu seperti kehamilan. Contoh lain, masih banyak
perempuan yang tidak bisa memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan karena
suami yang lebih banyak memutuskan kapan akan pergi ke sarana kesehatan, atau
perempuan ‘dipaksa’ terus melahirkan sampai mendapatkan anak dengan jenis
kelamin tertentu yang seringkali mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan.
Remaja perempuan menghadapi tantangan kesehatan cukup besar akibat pernikahan
dan kehamilan di usia muda, selain lebih rentan terhadap resiko pelecehan dan
kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar rumah.
Analisis Gender dalam pelayanan kesehatan
Istilah
gender berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan sebab gender berhubungan
dengan peran dan tanggung jawab keduanya yang ditentukan dalam masyarakat.
Ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi karena masih
adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menyebabkan
adanya kesenjangan gender. Untuk mengurangi kesenjangan yang ada, khususnya di
bidang kesehatan, petugas kesehatan harus bisa memahami isu gender yang
merugikan kesehatan laki-laki dan perempuan dan cara pemecahannya.
Isu
gender dapat dipahami melalui suatu proses yang disebut analisis gender. Analisis
gender membantu melihat dengan cermat hal-hal yang mempengaruhi kesehatan
laki-laki dan perempuan sesuai dengan perbedaan usia, pendidikan, status
sosial-ekonomi, budaya, lingkungan dan sebagainya. Ketika petugas kesehatan
telah mengintegrasikan analisa gender dalam memahami masalah kesehatan, maka
petugas kesehatan tersebut telah melakukan pengarusutamaan gender dalam
pelayanan kesehatan.
Untuk
memulai suatu analisis gender, petugas kesehatan perlu mengetahui informasi
mengenai jumlah laki-laki dan perempuan yang datang ke sarana kesehatan.
Pencatatan berdasarkan jenis kelamin pasien disebut pencatatan data terpilah (sex-aggregated data). Pencatatan ini
penting karena sering merupakan data pembuka wawasan mengenai masalah
kesenjangan gender dalam kesehatan. Data terpilah membantu anda melihat pola
masalah kesehatan mencakup : siapa yang lebih banyak menderita dan mengapa
mereka lebih menderita. Misalnya, dari
100 pasien dengan masalah anemia ditemukan 85 pasien perempuan dan 15 pasien
laki-laki. Analisis gender bisa dilakukan untuk mencari tahu mengapa jumlah
perempuan yang menderita anemia lebih banyak dibandingkan laki-laki? Contoh
lain, hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, lebih banyak laki-laki
yang menderita penyakit TBC tetapi jumlah kematian terbanyak akibat TBC dialami
oleh perempuan. Demikian juga dengan semakin tingginya jumlah perempuan
(khususnya ibu rumah tangga) yang terinfeksi HIV/AIDS melalui hubungan seksual
dengan pasangannya.
Analisis
gender dilakukan untuk mengetahui adanya kesejangan gender dalam 4 aspek : 1. Akses (siapa yang memanfaatkan sarana
kesehatan yang ada?); 2. Sumber daya (siapa yang memiliki sumber daya untuk
memanfaatkan sarana kesehatan?); 3. Kontrol (siapa yang membuat keputusan?) 4.
Keuntungan (siapa yang bisa menikmati keuntungan dari sumber daya yang ada?).
Contoh
kasus : Ibu Ana sedang hamil 5 bulan, tidak pernah memeriksakan kehamilan ke
petugas kesehatan, tidak pernah ikut posyandu karena tidak ada yang menjaga 3
orang anaknya yang masih kecil di rumah.
Beberapa hari terakhir ibu Ana mulai merasakan sakit yang tidak biasa
pada perutnya. Karena kuatir, ibu Ana minta ijin pada suaminya untuk pergi ke
Puskesmas. Mengingat jarak yang cukup jauh dari desa, ibu Ana minta bantuan
suaminya untuk mengantarkan ke Puskesmas. Suaminya yang bekerja sebagai ojek
motor tidak bersedia mengantarkan istrinya ke Puskesmas, selain karena jauh,
tidak ada yang menjaga anak-anak di rumah, juga karena akan menghabiskan uang. Suaminya menyuruh ibu Ana pergi ke dukun
bersalin yang ada di desa untuk diurut. Ibu Ana tidak berdaya menolak keputusan
suami keskipun hal itu bisa berbahaya bagi kesehatan dirinya dan bayi yang
dikandungnya.
Dari
contoh kasus diatas, ada empat langkah pendekatan analisis gender untuk
memastikan pelayanan kesehatan yang responsif gender :
Langkah
1
|
Menentukan
masalah
1.
Ibu
tidak pernah memeriksakan kehamilan
2.
Ibu
tidak pernah ikut posyandu karena harus menjaga anak
3.
Jarak
kehamilan yang cukup dekat (kehamilan ke-4 dengan 3 anak lain yang juga masih
kecil) sehingga ibu Ana masuk dalam kategori ibu hamil resiko tinggi
4.
Kesulitan
ekonomi
5.
Jarak
Puskesmas jauh dari desa
|
Langkah
2
|
Melihat
isu gender dari permasalahan tersebut
1. Peran
sebagai pengurus anak dan rumah tangga membuat perempuan tidak bisa
bersosialisasi di masyarakat atau mengikuti kegiatan yang bermanfaat bagi
kesehatannya.
2. Perempuan
seringkali tidak punya hak memutuskan jumlah anak dan jarak kehamilan yang
aman untuk menghindari resiko pada kesehatan reproduksinya.
3. Perempuan
tidak punya sumber daya untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada
(dalam kasus ini ibu Ana tidak punya uang dan alat transportasi)
4. Perempuan
seringkali harus meminta ijin suami untuk mengunjungi fasilitas kesehatan,
artinya tidak selalu boleh memutuskan sendiri kapan akan memeriksakan
kesehatannya.
|
Langkah
3
|
Mencari
pemecahan masalah atau alternatif jalan keluar untuk mengatasi masalah
1. Perlunya
meningkatkan kesadaran akan dukungan keluarga bagi ibu hamil agar bisa ikut
posyandu secara teratur
2.
Perlunya
meningkatkan kesadaran suami/kaum bapak tentang pentingnya menjaga kesehatan
istri selama kehamilan sampai sesudah melahirkan
3.
Perlunya
informasi tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas
4.
Perlunya
informasi tentang perencanaan kehamilan untuk menghindari resiko tinggi pada
ibu
5.
Perlunya
informasi tentang persalinan gratis melalui Jampersal
6.
Perlunya
informasi tentang persalinan yang aman pada tenaga kesehatan
|
Langkah
4
|
Menentukan
intervensi/upaya yang tepat dari berbagai alternatif penyelesaian masalah
yang ada (isu gender apa yang perlu diatasi, kegiatan yang bisa dilakukan,
kapan dan dimana)
1. Petugas
kesehatan bekerjasama dengan kader kesehatan/posyandu melakukan kunjungan
rumah untuk menelusuri jumlah ibu
hamil resiko tinggi
2.
Petugas
kesehatan melakukan pendekatan kepada keluarga atau tetangga yang bisa
menjaga anak-anak selama ibu Ana pergi ke Posyandu.
3. Petugas
kesehatan memberikan informasi kepada suami tentang tanda-tanda bahaya
kehamilan, persalinan dan nifas
4. Petugas
kesehatan meyakinkan serta memastikan suami mengantar istrinya memeriksanan
kehamilan ke Puskesmas.
5. Petugas
kesehatan menganjurkan persalinan pada tenaga kesehatan dan memberikan
informasi kepada suami dan istri tentang persalinan gratis (Jampersal).
6.
Petugas
kesehatan memberikan informasi kepada suami dan istri tentang perencanaan
kehamilan dan menawarkan alat kontrasepsi yang sesuai bagi istri dan suami.
7.
Petugas
kesehatan membuat kelas persiapan kehamilan dan persalinan di desa dan
mengajak ibu hamil dan suaminya untuk bergabung (waktu disesuaikan agar kaum
bapak bisa ikut serta)
8. Petugas
kesehatan melakukan pendekatan kepada Kepala Desa, tokoh masyarakat atau
pemuka agama setempat untuk memberikan nasehat tentang pentingnya peranan
laki-laki/suami menjaga kesehatan istrinya selama kehamilan sampai sesudah
persalinan.
|
Pelayan Kesehatan Reproduksi yang
Responsif Gender
Kesehatan
reproduksi menempati bagian terbesar dari upaya pelayanan kesehatan. Hasil Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi
tahun 1996 menyepakati Paket Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) yang terdiri
adri 4 komponen : Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Kesehatan
Reproduksi Remaja, dan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS.
Laki-laki
dan perempuan mempunyai hak reproduksi yang sama namun perbedaan gender lebih
banyak mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan dengan konsekuensi yang
lebih besar dibandingkan laki-laki. Kesehatan reproduksi perempuan banyak
dipengaruhi tuntutan pekerjaan mengurus rumah tangga; bekerja di luar rumah;
ditambah lagi beban kerja dari fungsi reproduksinya untuk hamil, melahirkan dan
menyusui. Karena peran ganda ini, perempuan mengalami kesulitan untuk
memperoleh tingkat kesehatan reproduksi secara optimal bila tidak dilakukan
upaya khusus. Petugas kesehatan dapat memberikan kontribusi penting terhadap
peningkatan kesehatan reproduksi perempuan yang akan berimbas pada meningkatnya
kesehatan anak-anak, suami, keluarga dan masyarakat luas.
Untuk
meningkatkan status kesehatan reproduksi perempuan, petugas kesehatan perlu
memahami betul perbedaan peran gender yang merugikan kesehatan perempuan. Petugas kesehatan yang responsif gender perlu
membantu laki-laki untuk memahami pengaruh dari tindakan dan perilakunya
terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Laki-laki perlu memahami kesehatan
reproduksinya sendiri dan bagaimana ia bisa mendukung kesehatan reproduksi
perempuan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya :
- Memberi informasi yang lengkap tentang kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan.
- Remaja laki-laki perlu diajarkan untuk memahami kesehatan organ reproduksinya dan menghormati organ reproduksi lawan jenisnya (perempuan).
- Melibatkan laki-laki dalam penyuluhan tentang seksualitas, kesehatan organ reproduksi, penyakit menular seksual, kontrasepsi, aborsi dan penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksi laki-laki dan perempuan.
- Melibatkan suami dalam proses pemeriksaan kehamilan, perawatan kehamilan, persiapan persalinan, dan perawatan paska persalinan.
- Melibatkan suami dalam konseling perencanaan kehamilan (mengatur jarak kehamilan dan jumlah anak) dan pemilihan alat kontrasepsi (KB) yang sesuai bagi suami dan istri. Melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama laki-laki dalam memberikan pemahaman mengenai kesetaraan peran gender laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Penutup
Memang
tidak semudah membalik telapak tangan bagi petugas kesehatan untuk menerapkan
pendekatan responsif gender dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sudah pasti
akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan karena masyarakat kita secara
umum belum memahami konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Satu hal yang perlu diingat, keadilan dan kesetaraan gender di bidang kesehatan
hanya dapat dicapai dengan melibatkan banyak kalangan, terutama kaum laki-laki
di dalamnya.
Dengan
mengerti perbedaan kebutuhan, konsekuensi pelayanan kesehatan terhadap
laki-laki dan perempuan, petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan yang
lebih relevan dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian,
pelayanan kesehatan akan menjadi lebih efisien dan efektif.
0 komentar:
Posting Komentar