Pada tanggal 2 Juni 2012, DPRD Kab. Minahasa
Utara melakukan kunjungan lapangan ke wilayah Kecamatan Likupang Timur (2 Juni
2012) dan Kecamatan Kema (23 Juni 2012). Kunjungan tersebut merupakan bagian
dari penjaringan aspirasi masyarakat sebagai bahan masukan bagi penyusunan
Peraturan Daerah Pelayanan Kesehatan Publik yang merupakan inisiatif DPRD Kab.
Minahasa Utara. Dalam kunjungan lapangan tersebut, Komisi C DPRD Minahasa Utara
didampingi oleh Tim Penyusun Naskah Akademik Peraturan Daerah yang terdiri dari
unsur perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil serta didampingi
konsultan dari Program BASICS.
Desa
Rinondoran, Kecamatan Likupang Timur
Terdapat satu Polindes dengan
satu orang bidan desa. Akses dan tenaga kesehatan yang terbatas menjadi salah
satu kendala yang dihadapi masyarakat. Namun demikian, perhatian untuk kesehatan
masyarakat khususnya ibu dan anak tetap diperhatikan. Setiap bulan pada tanggal
18 dilakukan penimbangan balita dan pemeriksaan ibu hamil dan menyusui. Menurut pengakuan seorang warga yang ditemui,
meskipun pemeriksaan telah terjadwal akan tetapi kesadaran masyarakat khususnya
ibu-ibu hamil masih rendah, terbukti mereka belum sepenuhnya memanfaatkan
fasilitas ini. Di samping kesibukan sebagai alasan untuk enggan memerikasakan
kesehatan, sikap apatis juga masih dominan
di antara mereka. Biasanya nanti saat
mau melahirkan atau setidaknya menjelang kelahiran, mereka baru kalang kabut
dan cenderung panik untuk cari pertolongan dalam proses persalinan. Ada
beberapa kasu (tidak disebutkan jumlahnya) dimana ibu melahirkan dengan kondisi
bayi sudah meninggal. Diasumsikan, ini adalah salah satu akibat dari keengganan
untuk memeriksakan diri selama masa kehamilan. Selain itu, akibat akses dan
fasilitas yang terbatas, ada kasus ibu melahirkan di perjalanan saat menuju
puskesmas. Selain bidan, masyarakat mempercayakan biyang kampung (dukun bayi)
untuk menolong persalinan.
Ada satu hal yang perlu jadi
perhatian pengambil kebijkan di daerah ini dalam hal biaya persalinan. Biaya
yang dikenakan bagi ibu yang melahirkan anak lahir laki-laki dengan anak
perempuan dibedakan. Ibu yang melahirkan anak laki-laki dikenakan biaya Rp.
300.000,- sementara anak perempuan Rp. 250.000,-. Mungkin dalam pandangan orang
awam bukan masalah, namun hal tersebut jadi benih ketidakadilan gender di
tengah masyarakat. Kebijakan ini
nampaknya tidak disadari oleh pemerintah daerah. Jangankan pemerintah daerah,
masyarakat setempat juga tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Ketika
ditanya, mengapa ada perbedaan tersebut? Mereka menjawab sendiri bahwa proses
melahirkan anak laki-laki lebih sulit daripada anak perempuan. Mereka berasumsi
demikian. Dalam pandangan masyarakat mungkin hal tersebut dapat dimaklumi,
namun bagi pemerintah daerah seharusnya hal tersebut tidak bisa dibiarkan terus
terjadi. Perlu diselidiki lagi apakah
perbedaan biaya persalinan ini merupakan kebijakan pemerintah daerah atau
kebiasaan masyarakat yang sudah membudaya dan direstui oleh bidan/petugas
kesehatan di daerah tersebut. Kondisi ini perlu upaya yang harus dilakukan oleh
para pihak untuk memberikan penyadaran agar meminimalisir kebijakan yang tidak
responsif gender.
Di Desa Rinondoran, menurut
pengakuan warga belum ada ditemukan gizi buruk, namun ada penyakit yang kadang
mewabah di daerah ini, antara lain penyakit malaria dan diare. Biasanya
penyakit ini diderita masyarakat berhari-hari dan kadang menyerang anggota
keluarga secara bergantian. Ketika ditanya apa penyebabnya, masyarakat belum
bisa memastikan. Konsumsi air minum warga berasal dari air sumur. Beberapa di
antara mereka beranggapan adanya tambang emas oleh perusahaan di daerah mereka
yang mencemari air bawah tanah. Namun hal tersebut belum dapat dipastikan dan
perlu ada pembuktian secara ilmiah.
Desa Kema II, Kecamatan Kema
Desa
ini terletak di Ibu Kota Kecamatan Kema. Terdapat Puskesmas yang melayani rawat
darurat. Kurang lebih satu tahun rawat darurat tersebut telah difugsikan,
khususnya persalinan Ibu melahirkan. Kondisi ibu melahirkan di daerah ini
umumnya tertangani dengan baik yang aksesnya dekat dengan ibukota kecamatan.
Namun pasien dari beberapa desa yang berjauhan dengan ibu kota Kecamatan Kema,
persalinan ibu-ibu mengalami kesulitan karena akses yang jauh. Ibu-Ibu yang
melahirkan di Puskesmas ini yang berasal dari wilayah yang agak berjauhan,
umumnya diantar oleh bidang desa dan atau Biyang Kampung (dukun bayi). Di
Puskesmas ini belum ditemukan kasus ibu melahirkan yang meninggal demikian pula
dengan bayi lahir mati.
Desa Langsot, Kecamatan Kema
Pelayanan
Polindes hanya dibuka 2 kali dalam seminggu, yakni hari Senin dan Kamis karena
bidan desa hanya 1 orang dan tidak menetap di desa Lansot tetapi dari desa
Kema, ibukota Kecamatan. Keluhan ibu-ibu disebabkan oleh karena bidan yang
ditempatkan di desa mereka adalah bidan kecamatan yang hanya bertugas dua kali
dalam seminggu. Ketika ada ibu hamil yang membutuhkan pertolongan di luar hari
Senin dan Kamis, maka yang bersangkutan tidak dapat terlayani. Umumnya ibu-ibu
melahirkan dibantu oleh bidan. Kalau bertepatan dengan jadwal kunjungan hari
Senin dan Kamis akan ditolong oleh bidan desa, tapi kalau di luar jadwal
tersebut, iabu yang akan melahirkan harus mendatangi Puskesmas Kema. Biaya
persalinan di tempat praktek bidan cukup mahal, sekitar Rp. 700.000,-. Sampai
saat ini di desa Lansot belum ada kasus ibu melahirkan yang meninggal demikian
juga dengan bayi lahir mati.
Desa Lilang, Kecamatan Kema
Kegiatan
Posyandu 1 kali sebulan, tanggalnya tidak menentu, biasaya akan diumumkan
melalui Kepala Desa. Ada 1 orang bidan
desa 1 orang tetapi tidak menetap di desa tersebut. Pelayanan kesehatan
sewaktu-waktu dilakukan, biasanya hanya pada saat ada penimbangan bayi di
Posyandu yang waktu juga tidak menentu. Masyarakat di desa ini masih ada yang
mempercayakan persalinannya pada biang kampung (dukun bayi) ketimbang ke bidan
atau mengunjungi Puskesmas di Kema. Di samping jarak yang jauh, kendaraan umum
menuju ibukota Kecamatan juga sulit diperoleh. Biang Kampung masih dipercaya
karena sudah dianggap lebih berpengalaman.
Pernah terjadi 1 kasus kematian ibu karena melahirkan dan 1 kasus
kematian bayi baru lahir. Kedua persalinan terpersalinan tersebut tidak
ditolong oleh petugas kesehatan, hanya biang kampung. Sampai saat ini belum ada
penyakit yang pernah mewabah di desa ini. Meskipun demikian, kondisi sanitasi
dasar warga masyarakat di desa ini belum terlalu diperhatikan, khususnya
jamban keluarga umumnya tidak sehat dan sebagian lainnya tidak memiliki dan
masih buang hajat di sepanjang pantai.
Desa Waleo, Kecamatan Kema
Di
desa ini ada seorang dukun bayi terlatih bernama Ibu Martina yang sudah
menolong persalinan sejak tahun 1980. Keahlian beliau dalam bidang ini
didapatkan secara turun temurun. Keahlian yang dimilikinya saat ini akan
diteruskan oleh cucunya, karena anaknya tak satu pun yang dapat meneruskan
keahliannya. Sejak menekuni pekerjaan ini, Ibu Martina sudah menolong tidak
kurang dari 700 persalinan. Rata-rata
dalam seminggu Ibu Martina menolong 4 orang ibu melahirkan, bukan hanya di
desanya dan di desa tetangga tetapi juga di luar Kecamatan Kema. Pelayanan
proses persalinan biasanya dilakukan di rumahnya sendiri dan juga dipanggil ke
rumah pasien. Kepercayaan kepada Ibu Martina lebih pada pengalaman beliau yang
sudah banyak menolong persalinan. Selain itu juga beliau adalah dukun terlatih
yang bersertifikat dan pernah disekolahkan selama 9 bulan pada tahun 1989.
Sejak saat itu, keterpaduan pengalaman selama menjadi biang kampong (dukun) dan
pengetahuan yang didapatkan selama disekolahkan menjadi bekal dalam menolong
persalinan. Mengatasi kondisi kesehatan dasar yang membutuhkan pertolongan
pertama juga sudah dikuasainya. Karena keahliannya ini, kadang bidan pun
meminta bantuan Ibu Martina jika ada kondisi pasien yang mau melahirkan dalam
kondisi yang sudah gawat/darurat
Menurut Ibu Martina, ibu-ibu lebih
memilih proses persalinannya ditolong oleh biang Kampung bukan karena tidak ada
bidan, tapi kepercayaan masyarakat terhadap biang Kampung masih kental. Banyak
orang takut terhadap bidan karena beranggapan bidan hanya teori dan minim
pengalaman. Belum lagi jika bidan tak mampu menolong, jalan keluarnya adalah
disarankan untuk operasi. Yang ada dalam benak masyarakat ketika operasi adalah
banyak uang yang harus dikeluarkan sementara penghasilan masyarakat yang ada di
desa tidak mencukupi. Dengan kondisi seperti itu, menurut Ibu Martina, baiknya
pemerintah daerah menyekolahkan biang Kampung
menjadi terlatih minimal seperti pengalaman beliau. Minimal biang kampung
bisa memberikan pertolongan pertama sebelum dibawa ke bidan atau Puskesmas atau
layanan kesehatan lainnya. Apalagi untuk daerah yang jauh dari layanan
kesehatan dengan akses transportasi yang juga sulit sementara yang tersedia hanya
biang kampung.
Berbagai informasi yang didapatkan selama
kunjungan lapangan dan bertemu langsung dengan masyarakat pengguna layanan
kesehatan menjadi masukan yang sangat berharga dalam proses penyusunan Naskah
Akademik Peraturan Daerah Inisiatif DPRD mengenai Pelayanan Kesehatan Publik.
Selain berdialog dengan masyarakat pengguna layanan, DPRD juga berencana untuk
mengadakan dialog dengan para petugas kesehatan. Dengan demikian, diharapkan
Peraturan Daerah yang nantinya akan disusun ini benar-benar bisa menjawab kebutuhan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten Minahasa Utara.